Rabu, 16 Maret 2011

Krisis Timur Tengah dan Minyak Dunia


Gelombang aksi demontrasi dan krisis politik yang kini melanda Timur Tengah telah mendorong kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak Brent di London yang menjadi acuan perdagangan di Eropa telah melesat di atas USD100 per barel. Sulit dimungkiri bahwa kawasan Timur Tengah merupakan wilayah paling penting terkait minyak dunia. Mayoritas negara produsen minyak dunia yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) berasal dari kawasan penuh konflik tersebut. 

Mesir dikenal sebagai pengendali Terusan Suez. Diperkirakan sekitar empat persen minyak dunia disalurkan melalui terusan ini. Di samping itu, Mesir juga termasuk negara utama produsen minyak dunia, tetepi populasi penduduk yang tinggi mengharuskan sebagian besar produksi tersebut dialokasikan bagi kebutuhan dalam negeri.

Bagaimana dengan Libya? Menurut laporan British Petroleum (BP) pada tahun 2009, Libya menerupakan negara eksportir minyak terbesar ke-12 di dunia. Selain itu, Libya juga tercatat sebagai negara pemilik sumber cadangan minyak terbesar di Afrika. Beberapa perusahaan minyak besar dunia beroperasi di sana, seperti Repsol (Spanyol), BP (Inggris), Shell (Belanda), Gazprom (Rusia), Statoil (Norwegia), dan Medco (Indonesia).
 
Gelombang aksi demonstrasi dan krisis politik telah menyebabkan sebagian besar perusahaan minyak di Libya mengumumkan untuk menarik para pegawai asing mereka. Bahkan, peningkatan eskalasi ketegangan tersebut telah membuat beberapa sumur minyak Libya ditutup. Jadi, jelas bahwa gejolak politik Timur Tengah saat ini memiliki kontribusi langsung terhadap kenaikan harga minyak dunia.
 
Dampak untuk Indonesia

Lonjakan harga minyak dunia tentu akan membawa dampak serius bagi perekonomian nasional. Jika harga minyak dunia terus berada di atas level USD100 per barel, maka beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) otomatis akan bertambah mengingat subsidi negara terhadap bahan bakar minyak (BBM) masih cukup tinggi. 

Asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2011 adalah USD80 per barel. Keseimbangan APBN yang terganggu akibat lonjakan harga minyak dunia cepat atau lambat akan membawa dampak negatif terhadap performa perekonomian nasional.
Tidak ada jalan lain, untuk meminimalisasi efek negatif dari akibat lonjakan harga minyak dunia pemerintah perlu mendorong efisiensi konsumsi BBM. Selama ini realitas seringkali menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi BBM tidak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga BBM yang murah karena ditopang subsidi pemerintah dicurigai sebagai salah satu sebab utama inefisiensi konsumsi BBM. Kritikan terhadap kebijakan subsidi BBM pun kian kencang terdengar.
 
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2011 subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp92,8 triliun atau mengalami kenaikan dari besar subsidi tahun lalu yang hanya sebesar Rp88,9 triliun. Pada tahun 2010, sekitar 60 persen subsidi diserap oleh premium dan lebih dari separuh jumlah itu dinikmati oleh para pengguna mobil pribadi. Fakta paling mengenaskan dari kebijakan itu adalah 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15 persen. Sementara itu, 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen.

Masalah pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran alokasi subsidi ini selalu menghantui Indonesia. Kita seakan tidak pernah dapat lepas dari perangkap minyak. Sungguh tidak adil bila di saat pemerintah dipusingkan dengan lonjakan harga minyak dunia, tetapi di saat yang sama dana subsidi BBM itu justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu. 
Karena itu, dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengurangi alokasi subsidi. Pengaturan BBM bersubsidi merupakan salah satu opsi yang dapat dipilih oleh pemerintah selain menaikkan harga BBM. Melalui kebijakan ini BBM bersubsidi (premium) hanya boleh dikonsumsi oleh kendaraan umum dan motor. Sedangkan mobil pribadi diharuskan untuk menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax) dengan harga lebih mahal ketimbang premium. 

Skema pembatasan konsumsi BBM bersubsidi merupakan alternatif kebijakan yang mengandung risiko lebih kecil ketimbang menaikkan harga BBM yang berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi. Hampir dapat dipastikan akan muncul banyak respons negatif bila pemerintah menaikkan harga BBM di saat sekarang ini. sekarang ini. Namun, patut diingat oleh pemerintah bahwa pilihan terhadap opsi pembatasan konsumsi BBM harus diiringi dengan kesungguhan untuk mengelola suplai BBM.
Pemerintah mesti membangun iklim investasi yang sehat di sektor minyak dan gas bumi. Pemerintah harus secara konsisten berupaya menjaga pasokan dan permintaan minyak dalam negeri. Peningkatan produksi minyak nasional dipercepat dengan dibarengi penghematan konsumsi dan diversifikasi energi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Play Music

Powered by

Powered by