Jumat, 28 Januari 2011

Tantangan Dirjen Pajak Baru


Fuad Rachmany telah dipercaya menjadi Dirjen Pajak baru menggantikan M Tjiptardjo. Sejumlah tantangan menanti di depan.

Kasus Gayus Tambunan masih menjadi momok terbesar bagi siapa pun jajaran perpajakan Indonesia, terlebih bagi seorang dirjen.Kasus ini tentu juga menjadi momok buat Menteri Keuangan secara otomatis.

Sejak lama persoalan mafia hukum di bidang pajak dirasakan oleh masyarakat Indonesia, yang dalam bahasa awam digambarkan dengan kalimat yang pas, “sudah menjadi rahasia umum”.

Tapi sejak kasus Gayus mencuat ke publik, seolah baru dihadapi oleh semua pihak. Tentu tantangan dirjen baru bukan soal mafia hukum pajak semata. Sejumlah tantangan lain menanti baik yang bersifat strategis maupun teknis, baik dari sisi berbagai aspek organisatoris maupun dari aspek nonorganisatoris.

Membicarakan tantangan yang dihadapi hanya pada target pemasukan pajak semata sudah terlalu usang dikaji banyak pihak.Sudah semestinya tantangan ke depan Dirjen Pajak baru lebih substansial dari sekadar target pemasukan pajak tersebut.

Ideologis vs Pragmatisme

Pajak adalah sumber daya negara. Negara tanpa pajak tidak bisa bergerak karena tidak memiliki energi untuk bergerak meraih tujuan-tujuan yang diinginkan.

Idealnya pajak mampu menyambungkan unsur-unsur lembaga formal negara dengan masyarakat baik kalangan bisnis maupun masyarakat madani secara sinergis. Supply and demand terjadi di sini, hubungan transaksional berlangsung dalam arena formal organisatoris, hubungan interaksional dapat berlangsung pula secara informal organisatoris maupun nonorganisatoris.

Altruisme (nilai kebaikan dari berbagai aktor) pun bisa berlangsung. Pajak menjadi elemen katalis berbagai elemen negara bangsa bergerak ke arah tujuan yang diinginkan.

Namun terkadang ihwal ideal pajak sebagai katalisator hubungan antarkomponen negara bangsa tersebut menghadapi elemen penghambat yang muncul tidak pada tempatnya sehingga mengganggu gerak negara tersebut.

Adanya faktor penghambat menyebabkan munculnya kelambanan organisatoris maupun nonorganisatoris. Faktor psikologis, budaya, interaksi alamiah bangsa yang sering kali tidak disikapi dengan baik oleh elemen formal lembaga negara dapat menjadi penyumbang besar kelambanan gerak yang datang dari faktor nonorganisatoris.

Selain itu, faktor organisatoris yang menjadi penyumbang, baik berupa katalisator maupun hambatan, dapat bermula dari hal penyusunan rule of the game dalam bidang pajak sampai penyusunan alat-alat untuk kepentingan penerimaan pajak dan bahkan penggunaan hasil pajak (budget expenditure).

Terkadang pula faktor organisatoris dan nonorganisatoris tidak couple (sejalan). Celaka sekali jika faktor penghambat tersebut disumbang oleh pragmatisme aktor (individu) dalam negara bangsa Indonesia.

Memang pragmatisme bisa dipicu oleh adanya kesempatan yang terbuka dalam sistem yang tercipta. Tapi pragmatisme juga bisa didorong oleh cacat bawaan individu tersebut. Hasilnya ada “Gayus-Gayus” bermunculan, bahkan lebih besar dari Gayus karena Gayus sebetulnya hanya bidak semata.

Pragmatisme yang berskala besar dapat membuat negara bangsa keropos dan akhirnya terpuruk dan bahkan bangkrut. Tantangan Dirjen Pajak adalah bagaimana membuat pajak menjadi katalisator gerak negara menjadi efektif yang berdimensi luas tersebut.

Dirjen Pajak harus menjadi inisiator berbagai elemen dalam negara bangsa Indonesia untuk mendorong hal ini terjadi. Pertanyaannya bagaimana caranya?

Rekayasa Ulang

Tidak ada kata lain kecuali rekayasa ulang sistem pajak Indonesia. Dirjen Pajak harus mengkaji secara serius kapasitas kelembagaan organisasinya dikaitkan dengan unsur-unsur yang lebih luas dan daya serap, daya dukung, produktivitas, efisiensi serta efektivitas totalnya dalam kompleksitas hubungan organisasi negara.

Bisa jadi Dirjen Pajak tidak perlu organisasi besar seperti sekarang ini. Gerak Dirjen Pajak juga harus dibarengi oleh dirjen lain dan dibarengi oleh kesadaran sektor lain untuk menjadi garda terdepan peningkatan kualitas penggunaan uang negara dari hasil pajak. Presiden dan Menteri Keuangan harus menjadi komandan di sini.

Dirjen Pajak harus menjadi inisiator yang terus memberikan energi kepada kedua atasannya tersebut. Dirjen baru harus mampu menyuarakan visi perbaikan agar sama dengan seluruh komponen negara bangsa yang ingin membersihkan mafia hukum pajak dalam tubuh unit organisasinya. Dirjen baru pun harus mampu menyuarakan bahwa yang lebih penting lagi adalah penggunaan uang hasil pajak secara efektif.

Dibutuhkan tim yang kuat dalam tubuh dirjen pajak tersebut yang mem-back-up secara terus menerus implementasi visinya tersebut. Dirjen baru pun jangan sampai dianggap orang asing di negeri sendiri. Tapi dia harus berani mengatakan yang pahit kepada semua pihak jika perubahan yang akan dilakukan menyakitkan (Warren Benis,1995).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Play Music

Powered by

Powered by